Rapergub Tak Maksimal Untuk Masyarakat
6 tahun ago
313
0
PALEMBANG – Pemprov Sumsel telah melakukan finalisasi terhadap empat Rancangan Peraturan Gubernur (Rapergub) Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut yang dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah pada Senin (17/9) lalu. Keempatnya, yakni Insentif dan Disinsentif Perlindungan dan Ekosistem Gambut, Kelembagaan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, Kerjasama Perlindungan dan Pengelolan Ekosistem Gambut serta Peran Serta Masyarakat dalam Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Hanya saja, Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sumsel menilai pemerintah kurang mempertimbangkan kebutuhan masyarakat secara maksimal dalam rancangan tersebut.
Direktur Eksekutif Walhi Sumsel, M Hairul Sobri menyebut pemerintah tak melibatkan kelompok masyarakat yang bersentuhan langsung dengan kawasan tersebut, termasuk Non Government Organization (NGO) lokal yang selama ini concern terhadap permasalahan gambut dan kebakaran lahan di Sumsel. Sehingga terdaoat celah bagi perusahaan tertentu untuk memasukkan kepentingan mereka.
“Jika rancangan peraturan gubernur dengan proses yang minim keterlibatan publik ini dipaksakan untuk disahkan. Maka diduga kuat atau disinyalir mengakomodir kepentingan swasta baik perkebunan sawit besar dan perkebunan kayu atau hutan tanaman industri, “ujarnya.
Ia menjelaskan jika Sumatera selatan merupakan salah satu provinsi yang memiliki lahan gambut dengan luas mencapai 1.2 juta hektar. Pada tahun 2015 lalu provinsi ini termasuk sebagai salah satu provinsi yang mengalami kebakaran hutan dan lahan dengan luas lahan terbakar mencapai 837.520 hektar atau 40 Persen dari luas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, dimana 410.962 hektar lahan dan hutan terbakar tersebut adalah gambut yang tersebar di 7 Kabupaten di Sumatera Selatan. Pengelolaan ekosistem essensial gambut yang buruk telah memicu bencana ekologis berupa bencana asap pada tahun 2015. Sehinggga tahapan proses rancangan peraturan gubernur ini harus melibatkan kalangan masyarakat luas bukan hanya kepentingan segelintir kelompok atau kelompok terbatas. Apalagi, didalam periode transisi kepemimpinan pemerintahan Sumatera Selatan saat ini, Penyusunan kebijakan terkait pengelolaan ekosistem essensial gambut yang berdampak pada masyarakat luas seharusnya melibatkan lebih banyak para pihak dan mendengar aspirasi masyarakat terdampak sehingga melahirkan kebijakan strategis yang lebih akuntabel dan transparan tidak terkesan sebagai kebijakan yang dipaksakan.
“Kami meminta seharusnya diakhir sisa kepemimpinan Gubernur Sumatera Selatan lebih fokus menyelesaikan dan menyiapkan peralihan pemerintahan selanjutnya terkait hal ini. Termasuk nanti ketika ada Pejabat Gubernur, karena permasalahan kabut asap ini sangat menyangkut dengan masyarakat, “tambahnya.
Perlu diketahui bahwa masyarakat, lanjutnya merasa semakin terjepit mengingat pemprov Sumsel telah mengeluarkan Peraturan daerah No 8 tahun 2016 tentang Kebakaran Hutan dan Lahan yang secara nyata telah menempatkan rakyat pada posisi yang sulit memanfaatkan lahan gambut sebagai sumber ekonominya karena ketiadaan insentif dari kebijakan tersebut.
Direktur Hutan Kita Institute (HAKI), Aidil Fitri berpendapat hal yang sama. Seharusnya pemerintah lebih cenderung untuk melakukan uji publik terhadap raperda yang akan difinalisasi. Justru melibatkan NGO luar yang tidak bersentuhan langsung dengan masyarakat terdampak raperda tersebut.
“Kami sangat menyayangkan pihak-pihak yang terlibat disini mengabaikan konsultasi publik. Padahal itu bagian terpenting dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Tentu kami melihat kedepan agar bisa dievaluasi,” tutupnya
Tags
Terkini
Berita TerbaruTrending
Berita Populer-
2