RINDU KAMI MENDERAS DI ATAS PERAHU AMANDA

5 tahun ago
552

 

PALEMBANG, HS Amanda Maida Lamhati dikenal karena syair puisi yang metapor pada dunia nyata. Ia berkarya bukan semata pekerjaan, melainkan peluapan batin.

Perahu dari kayu itu terdampar di depan ruangan. Posisi perahu yang dibelakangnya terlihat jejaring ikan berukuran sedikit lebih besar daripada lukisan yang ada di sebelahnya. Tak jauh dari perahu yang dikelilingi enceng gondok, berdiri bangunan segi empat mengarah ke penonton.

Sabtu, 27 Oktober 2018 sekira pukul 13.30 WIB, Amanda Maida Lamhati unjuk kebolehan bersama pelaku seni Iir Stoned. Duo seniman itu memang tak sedang melayarkan perahu di atas air. Namun, di Auditorum RRI Palembang, Amanda saling ‘mengisi’ dalam acara  Peluncuran Antologi dan Album Musikalisasi Puisi Perahu tak Lagi Kutambatkan. Acara itu pun mempertemukan penyair-penyair baik tua maupun muda yang ada di Sumatera Selatan.

Amanda memang identik dengan air dan perahu. Karya syair puisinya semakin berkibar lewat Album Musikalisasi Puisi 2018. Jujur saja, bila menyelinap ke masa lalu, Amanda bahkan pernah ‘hanyut’ di arus kekaryaan puisi. Ketika itu, ia membaca buku Catatan Akhir Seorang Penyair yang ditulis Nasjah Djamin—sekitar tahun 1980-an.  Buku yang berkisahkan  kesan pertemuan sastrawan  Nasjah dengan Chairil Anwar si pelopor puisi modren angkata 1945 yang nyentrik dan urakan.

“Sejak itulah, saya seolah-seolah menemukan pintu masuk bagi jiwa yang menggelegak untuk berpuisi. Dan, mulailah saya menulis, menulis, dan tak mau berhenti menulis puisi,” ucap Amanda Maida Lamhati yang sehari-harinya adalah tenaga pendidik bernama lengkap Fir Azwar.

Tak banyak yang tahu peristiwa Amanda di kala masa kanak-kanak  dihabiskan di tanah kelahirannya Dusun Karangagung, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir hinga berkuliah dan menjadi seorang guru di Palembang.

Jauh sebelum timbul ide untuk menggarap puisi ke dalam album musikalisasi, Amanda selalu ingin mengabadikan karya-karya puisinya pada tema alam, percintaan di masa mudanya, kasih sayang pada keluarga, suasana kebersamaan di dusun, di pasar kalangan—pasar yang hanya ada sepekan sekali, kondisi sekolah, sosial, hingga politik kekinian mengalir utuh ke kalimat puitik. Pun sebagian puisi-puisi Amanda ini juga ia tulis di media sosial, facebook dan blog miliknya.

“Lama sekali saya menyisir satu per satu puisi ini. Itu karena saya menimbang-nimbangnya. Terlebih lagi puisi bagi saya adalah obat mujarab dari segala macam persoalan kehidupan yang dialami,” dilanjutkannya.

Coba kita simak pengakuan Amanda di karya puisinya; ‘maka tibalah puisi//di ujung jariku//ia masuk di antara celah-celah kuku//bergerak dalam lorong nadi//berenang dalam darah// berjingkak-berjingkrak riang dalam jantung//bait demi adalah penawar racun segala racun//bait demi bait//adalah penawar risau segala risau.

“Akhirnya puisi saya berjudul Perahu tak Lagi Kutambakan disepakati menjadi judul antologi ini. Bukan karena puisi sebagai masterpiece, namun puisi yang sudah digarap musikalisasi oleh Iir Stoned agaknya lebih mewakili jiwa dari karakter puisi saya sendiri,” Amanda berkisah.

Perahu tak Lagi Kutambatkan menggambarkan kepasrahan setelah segala upaya telah ditunaikan. Kewajiban manusia adalah berusaha namun keputusan ada pada ketentuan Allah SWT. Perahu selaku kendaraan pun harus diserahkan pada arus takdir yang dikendalikan oleh Yang Maha Kuasa.

Penonton serasa bernostalgia saat menyaksikan tontonan musikalisasi puisi yang dibawakan Amanda Maida Lamhati dan Iir Stoned. Setidaknya kata Jaid Saidi, penyair asal Bumi Sriwijaya, itu dulu sebelum televisi belum banyak hadir di rumah-rumah, pertunjukkan semacam musikalisasi berpuisi inilah tontonan yang sekaligus menghibur.

“Ya. Pelan tapi sulit untuk dielakkan. Bahwa aku sendiri seakan kembali merindukan saat-saat dulu berkarya lewat pertunjukkan di atas panggung. Ada banyak cerita bertajuk puisi di sana. Ini obsesi yang aku kira tetap terus dipertahankan,” Jaid menambahkan.

Kata-kata merindukan sebuah tontonan musikalisasi puisi tetap saja membawa Jaid Saidi ke dunia fantasi dan ia benar-benar sedang merasakan memijat jiwa yang lelah.

“Tampak sekali di penampilan musikalisasi puisi Amanda tentang Lambak dan Serandang.  Begitu totalnya dibawakan. Aku kira mau orang Jawa, orang Batak, orang Kalimantan ataupun suku lainnya jelas tak akan tahu apa itu Lambak. Di situlah kekuatan rinduku yang sesungguhnya,” lanjut Saidi.

Di mata Jaid, karya-karya puisi Amanda Maida Lamhati bukan hanya rapi dipandang, juga menawarkan gagasan-gagasan yang memiliki lokalitas, karena si Amanda berkarya dimulai dari hati.

“Aku kenal betul si penyair Amanda Maida Lamhati. Orangnya kreatif, energik, dan produktif. Pak Fir sering aku memanggilnya. Seorang kepala sekolah yang selalu tak mau  berkesenian setengah-setengah. Itu yang membuat aku bangga,” ucapnya.

Sementara itu, Syaiful Bahri yang sehari-harinya sering disapa Uda Ifong menyebutkan, ia sengaja hadir di acara peluncuran Album Musikalisasi Puisi Amanda Maida Lamhati dikarenakan kodrat rindu yang dalam akan sebuah maha karya bait puisi.

“Waduh. Ini adalah pelepas rindu saya pada seni. Dan, saya benar-benar berhadapan dengan era 1980-1984. Waktu itu, ada namanya teater Kembara. Tiap kali pementasan ada jualan tiketnya,” dikatakan Ifong juga penghobi bonsai.

Saat tertentu, ungkap Ifong, seorang penyair ataupun pelaku seni yang murni bisa dihadapkan pada kultur dunia masa yang glamor, gemerlap, dan megah.  Namun, seketika pula si penyair dapat menyentuh hati siapa saja, naik ke pikiran, kembali mengendap di bawah sadar, lalu lahirnya karya yang sungguh-sungguh.

“Kalau dulu sebungkus nasi bisa di makan orang empat. Sebatang rokok dihisap oleh orang tiga. Tapi sekarang, idealisme kian bergeser. Orang bisa kompromi dengan masalah kebutuhan,” tutur perantau asal Bukittinggi, Agam, Sumatera Baratitu.

Di sisi lain, Vebri Al Lintani Ketua Dewan Kesenian Kota Palembang berpandangan, pementasan album musikalisasi puisi Amanda Maida Lamhati ini menggambarkan sebuah pertunjukkan menggabungkan seluruh unsur atau multidimensi.

“Anda bisa bayangkan betapa dahsyatnya ketika musik dan puisi melebur menjadi satu tubuh. Ada audio, visual, musik, gerak tubuh, dekor yang luar biasa. Dan, penonton pun diajak menikmati pengalaman pribadi sang penyair. Saya kira kita patut mengapresiasi buah karya nyata Amanda Maida Lamhati,” Vebri menyebutkan.

Dan, ia sepakat, khalayak bisa saja ‘menerjemahkan’ sebuah karya puisi. Namun, taklah semua orang dapat menyelami siapa itu seniman.

“Kalau di sekolahan, Amanda Maida Lamhati ini biasa disapa Fir Azwar. Kecintaannya di dunia sastra tak perlu diragukan. Bila membaca sejarah hidupnya dari sekolah di sebuah dusun, berkuliah di kota, hingga jadi kepala sekolah. Banyak hal yang ia renungkan.  Proses merenung itu tersimpan terang dalam karya-karya puisinya. Makin dalam seseorang merenung, semakin dalam pula kualitas karyanya,” Vebri coba menganalisa.

Isnayanti Syafrida, Sekretaris Dewan Kesenian Palembang berpendapat, selaku pendidik yang berkarakter keras dan tegas, ternyata Amanda Maida Lamhati memiliki jiwa yang halus dan peka. Kejujuran idealismenya tak lekang oleh zaman.

“Kita seakan tersihir dan masuk ke dalam bait puisi Amanda.  Bahkan ikut hanyut dan terombang ambing bersama perahu. Saya kira nilai-nilai kejujuran yang ditulis oleh Amanda Maida Lamhati lazimnya begitu mengakar kuat,” Isnayanti berkata.

Nun akhirnya karya-karya puisi Amanda Maida Lamhati seperti permata bila dibaca. Seperti embun di pagi hari. Kali ini silakan luangkanlah waktu Anda untuk memutar dan mendengarkan karya musikalisasi Amanda yang terhimpun di lima puisi; Perahu tak Lagi Kutambatkan, Lambak dan Serandang, Orang-orang Kalah, Sajak Kau dan Aku, dan Kau dan Rembulan. (rinaldi syahril djafar)