- Home
- Berita
- Palembang
- Pembangunan
- Pendidikan
- Regional
- Seni Budaya
- TERLUKIS NAMAMU DI KAMPUNGKU, KENAPA HARUS CEMAS?
TERLUKIS NAMAMU DI KAMPUNGKU, KENAPA HARUS CEMAS?
Bagaimanakah caranya agar bisa pulang ke kampung halaman di era digital atau medial sosial? Engkau lukiskan saja kampungku, maka di sana bakal tertulis namamu.
Teks/Foto : Arjeli Syamsudin Jaridun
Editor : Rinaldi Syahril Djafar
Lama sudah dia tinggalkan kegiatan tulis menulis. Hitung-hitung tiga bulan. Bersebab terlalu mematok nilai yang tinggi juga ditambah urusan perut dan cacing. Berangkat dari sebuah grup media sosial (medsos) berisikan saudara-saudara sedulur (broyot) yang kebanyakan diisi teman semasa kecil sanak tetangga yang bermukim di mana mana.
Begitu jelas di pelupuk mata bahwa ruh medsos itu. Adalah spirit merekatkan ulang tali temali komunikasi. Merajut jejaring yang terputus karena tuntutan dan persoalan hidup. Aku merasakan hal itu bukan hanya eksis yang mengundang underestimating di mata orang yang tak suka. Lebih dari itu ada gairah pelampiasan kerinduan masing-masing dengan biaya murah, tidak pakai macet, tiket, apa lagi becek.
Jika kukenang masa-masa itu. Sejak 1989 era Orde Baru, kampungku tidak ada sekolah SMA-nya. Yang menjadi salah satu alasan urbanisasi kami dari kampung ke Ibu kota provinsi. Tapi, anggota lain di grup itu ada yang sudah meninggalkan kampung sedari tahun 1965, 1982, 1985, dan seterusnya dengan alasan yang berbeda-beda.
Waktu pun terus bergulir. Namun, tentu sudah tidak bisa saling mengenal atau memang belum kenal. Sejarah peradabaan manusia di bumi manapun juga mencatat bahwa faktor kenapa suatu kelompok masyarakat untuk tinggal menetap dan berpinak-pinak di satu daerah tertentu. Pun halnya di era digital sekarang ini.
Aneka ragam aplikasi bahkan menawarkan pilihan masyarakat cyber untuk berkomunikasi pastinya dengan alasan tertentu pulalah mereka membentuk peradaban di dunia digital dan membentuk grup-grup. Bermacam-macam namanya. Lantas, mengapa mereka ada di grup ini yang berisikan ‘Broyot’ dan mau dimasukan di grup medsos tersebut?
Jawabannya amatlah sederhana; karena mereka cinta kampung halaman. Mereka merindukan peradaban dan kebiasaan kampung nan arif yang apa adanya. Pergi ke sawah dan kebun, naik perahu, main air di sungai, menangkap ikan, seluncuran di tebing pinggir sungai dan lain sebagai nya. Ada banyak hal yang asyik jika mengingat dari masa ke masa di kampungku.
Kebiasaan yang selalu membayang diingatan. Nun dii hari ‘musiman’ saat air naik, kami menyebutnya ‘ayek dalam’. Semua jalan-jalan kampungku tertutup air. Tranportasi yang bisa digunakan hanya perahu. Mata pencaharian warga setempat untuk bertahan hidup hanya ‘talang’ dan menangkap ikan.
Nantinya dari hasil tangkapan itupun dijadikan balur (ikan asin) salai (ikan asap) dan pede (sejenis ikan awetan khusus). Produk rumahan ini dijual ke kalangan atau pasar mingguan. Ada berbagai sebutan cara menangkap ikan dan alat yang sering dipakai di kampungku seperti ‘najur, nyaring, nyale, merawai, ngeces, nyerampang, dan lain lain.
Di sudut-sudut kampungku—zaman Orde Baru, masyarakatnya tidak ada yang berani merengek-rengek dengan pemerintah minta bangunkan jalan. Minta dibangunkan fasilitas ini dan itu. Maklum, masyarakat di kampungku sudah terbiasa, kok. Mungkin kami sudah terlalu lama bersahabat dengan alam sekitar.
Pada larut malam, suasana kampungku selalu berselimut pekat. Tak ada aliran listrik di waktu itu. Paling-paling lampu strongking yang terbaik bergelayut di ruang keluarga. Itu pun dipakai sampai shalat Isya berjemaah saja. Lampu temploklah yang setia hingga pagi menjelang. Televisi hanya beberapa gelintir saja yang memilikinya.
Layar TV mati. Itu pertanda tenaga baterai perlu di cas kembali oleh Kakcik Kidin ke tempat Wak Yaman si pemilik tempat ngecas baterai kala itu. Dua hari sekali, ia menjinjing baterai televisi dengan sepeda Onta.
Seingatku ada dua lokasi nonton TV di kampungku. Rumah Wak Yati—saudara tertua dari Kakcik Kidin (namanya Anang Yati) keluarga pembuat perahu. Satu lagi seorang pembarap bernama Dani. Pembarap yang dulunya merupakan kepala kampung (sebutan kepala desa).
Berakit-rakit ke kampungku, agak serasa sulit memang. Namun, jika mau? Cukup dengan click loading di medsos toh sampai juga ke kampung halaman. Bukankah bertamasya sebuah kebutuhan tertier..! Bahkan, sekelas Presiden Obama saja mau pulang kampung.
Berhembus kabar di grup medsos ramai bermunculan orang-orang kampung yang mengajukan diri untuk turut andil dalam Pemilihan Kepala Daerah..!.
Ya. Syahdan. Boleh jadi ada yang tangguh dan petarung di bola mataku. Sebab, dia merasakan sendiri arti perduli dan bangkit.
Paling tidak menunjukan pada dunia bahwa orang kampung tidak kampungan .Adapun faktanya calon ini pernah dinobatkan ketua wakil rakyat. (Maaf kata-kataku itu bukan soal nominal Adv, Lho…).
Tags
Terkini
Berita TerbaruTrending
Berita Populer-
2