• Berita
  • Palembang
  • PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA MELALUI RESTORATIF JUSTICE

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA MELALUI RESTORATIF JUSTICE

3 tahun ago
412

OPINI

Penulis : Novelly Siregar, S.H. (Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Bapas Kelas I Palembang)

Anak merupakan aset bangsa, sebagai bagian dari generasi muda. Dalam konteks Indonesia, anak adalah penerus cita-cita perjuangan suatu bangsa. Selain itu, anak merupakan harapan orang tua, harapan bangsa dan negara yang akan melanjutkan tongkat estafet pembangunan serta menjamin kelangsungan keberadaan bangsa dan negara pada masa depan.

Oleh karena itu, setiap anak harus mendapatkan pembinaan sejak dini, anak perlu mendapat kesempatan yang seluas-luasnya untuk dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik fisik, mental maupun sosial.

Terlebih lagi bahwa masa anak-anak merupakan periode pembentukan watak, kepribadian dan karakter diri seorang manusia, agar kehidupan mereka memiliki kekuatan dan kemampuan serta berdiri tegar dalam meniti kehidupan.

Setiap tahunnya akan tetapi banyak anak yang menjadi pelaku tindak pidana dan hal tersebut selalu meningkat setidaknya didalam kasus-kasus tertentu. Anak yang melakukan tindak pidana
atau pelanggaran hukum sangat dipengaruhi oleh beberapa faktorseperti pergaulan termasuk teman bermain, pendidikan, ekonomi dan lain-lain.

Tindak pidana yang dilakukan oleh anak
pada umumnya adalah merupakan proses meniru ataupun terpengaruh tindakan negatif dari orang dewasa atau orang disekitarnya. Ketika anak tersebut diduga melakukan tindak pidana,
sistem peradilan formal yang ada pada akhirnya menempatkan anak pada status narapidana, dan tentunya akan membawa konsekuensi yang cukup besar dalam hal tumbuh kembang anak.
Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal akan memasukkan anak kedalam penjara, dan hal tersebut berdasarkan hasil peneitian, tidak akan
selalu membawa efek jera, serta tidak menjadikan anak memiliki pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh kembangnya. Penjara justru seringkali membuat anak semakin
profesional dalam melakukan perbuatan kejahatan karena mengasah kemampuan dengan orang yang sudah ada di dalam penjara.

Oleh karena itu, berbagai upaya pencegahan dan penanggulangan terhadap anak yang berhadapan dengan hukum, perlu mendapatkan perhatian
yang besar. Tujuan penyelenggaraan Sistem Peradilan Pidana terhadap Anak tidak semata-mata bertujuan untuk menjatuhkan sanksi pidana bagi anak pelaku tindak pidana, tetapi lebih difokuskan pada pertanggungjawaban pelaku terhadap korban tindak pidana, perlindungan hukum, demi
kesejahteraan anak yang bersangkutan serta tanpa mengurangi perhatian terhadap kepentingan masyarakat.

Kemudian, Sistem Hukum Pidana Indonesia telah memasuki babak baru dalam perkembangannya. Salah satu bentuk perkembangannya adalah pengaturan tentang hukum pidana dalam perspektif dan pencapaian keadilan kepada perbaikan maupun pemulihan keadaan setelah peristiwa dan proses peradilan pidana yang dikenal dengan keadilan restoratif (Restoratif Justice) yang berbeda dengan keadilan retributif (menekankan keadilan pada pembalasan) dan
keadilan restitutif (menekankan keadilan pada ganti rugi).

Perlindungan anak-anak yang Berhadapan dengan Hukum (ABH), merupakan tanggung jawab bersama aparat penegak hukum. tidak hanya anak sebagai pelaku, namun mencakup juga anak yang sebagai korban dan saksi. Aparat penegak hukum yang terlibat dalam penanganan ABH agar tidak hanya mengacu pada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak atau peraturan perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan penanganan ABH (Anak yang Berhadapan dengan Hukum), namun lebih mengutamakan perdamaian daripada proses hukum formal yang mulai diberlakukan 2 (dua) tahun setelah Undang-undang tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diundangkan atau 1 Agustus 2014 (Pasal 108 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).

Berdasarkan Undang – Undang tentang Perlindungan Anak, proses penyelesaian tindak kejahatan anak secara hukum harus dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Pasal 16 (3) Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan bahwa penangkapan, penahanan atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai
dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Setiap orang tua yang memiliki anak yang bermasalah dengan hukum sebaiknya membuat pengaduan dan
pelaporan kepada lembaga – lembaga yang berkonsentrasi melindungi hak – hak anak, salah satunya adalah LBH anak. Namun, orang tua juga tidak perlu terlalu khawatir jika kasus anak
yang bermasalah dengan hukum sudah terlanjur dibawa ke kepolisian untuk diselesaikan melalui jalur hukum.

Untuk saat ini, setiap instansi kepolisian sudah memiliki satu unit pelayanan yang dikhususkan untuk menangani hal – hal yang sifatnya khusus, seperti penanganan kasus perempuan dan anak. Unit pelayanan tersebut dinamakan RPK atau Ruang Pelayanan Khusus.

Di bagian ini semua kasus yang ada kaitannya dengan anak dan perempuan akan ditangani sesuai aturan yang berlaku. Kemudian pasal 18 Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menyebutkan, setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan
bantuan hukum danbantuan lainnya. Dalam bagian penjelasan atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tersebut dikatakan, bantuan lainnya dalam ketentuan ini termasuk bantuan medis,
sosial, rehabilitasi, vokasional dan pendidikan.

Setiap kasus yang masuk ke kepolisian, jika sang pelaku belum didampingi oleh kuasa hukum maka tim RPK Polda berkewajiban melaporkannya
kepada institusi LBH Anak, sehingga anak yang menjadi pelaku ataupun korban tindak pidana bisa mendapat pendampingan dan bantuan hukum.

Dalam ketentuan Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak memberikan batasan usia terhadap anak yang berkonflik dengan hukum yakni:

“Anak yang berkonflik dengan hukum yang selanjutnya disebut anak adalah anak yang telah berumur 12 (dua belas) tahun, tetapi belum berumur 18 (delapan belas) tahun yang diduga melakukan tindak pidana”

Selanjutnya dalam ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mencantumkan dengan tegas apa saja yang menjadi hak-hak anak dalam
peradilan pidana, beberapa diantaranya yakni:

a. tidak dijatuhi pidana mati atau pidana seumurhidup;

b. tidak ditangkap, ditahan, atau dipenjara, kecuali sebagai upaya terakhir dan dalam waktu yang palingsingkat;

c. memperoleh keadilan di muka pengadilan Anak yang objektif, tidak
memihak, dan dalam sidang yang tertutup untukumum;

d. memperoleh pendampingan orang tua/wali dan orang yang dipercaya oleh
Anak;

e. memperoleh advokasisosial;
Kemudian bagi anak yang melalui proses pengadilan anak akan dilakukan berbeda dengan proses pengadilan biasa. Dalam setiap persidangan majelis hakim akan hadir sebagai penengah dan pemberi nasihat, tanpa menggunakan seragam hakim dan atribut lainnya. Hal ini dilakukan untuk menjaga kestabilan emosi dan psikologis anak.

Dengan kondisi ini, anak tidak merasa
menjadi orang yang paling jahat dan sangat bersalah. Perkembangannya seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa proses perlindungan
terhadap anak yang berkonflik dengan hukum ini mengalami perubahan yang mendasar yakni pengaturan secara tegas mengenai “keadilan restoratif dan diversi”.

Pengaturan ini dimaksudkan
untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan, sehingga dapat menghindari stigmatisasi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.Dalam ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak mencantumkan dengan tegas bahwa:

1. Sistem Peradilan Pidana Anak wajib mengutamakan pendekatan
KeadilanRestoratif.

2. Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:

a. penyidikan dan penuntutan pidana Anak yang dilaksanakan sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-Undangini;

b. persidangan Anak yang dilakukan oleh pengadilan di lingkungan peradilan
umum;dan

c. pembinaan, pembimbingan, pengawasan, dan/atau pendampingan selama proses pelaksanaan pidana atau tindakan dan setelah menjalani pidana
atautindakan.

3 Dalam Sistem Peradilan Pidana Anak sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
huruf a dan huruf b wajib diupayakan Diversi.

Selanjutnya dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak diversibertujuan:

a. mencapai perdamaian antara korban dan Anak;

b. menyelesaikan perkara Anak di luar prosesperadilan;

c. menghindarkan Anak dari perampasankemerdekaan;

d. mendorong masyarakat untuk berpartisipasi;dan

e. menanamkan rasa tanggung jawab kepadaAnak.

Perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum dalam penyelesaiannya melibatkan
semua pihak yang meliputi peran orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggungjawab dalam peningkatan kesejahteraan anak, serta perlindungan khusus terhadap anak yang bersangkutan.

Keadilan restoratif merupakan suatu proses diversi yaitu semua pihak yang terkait dalam suatu tindak pidana tertentu bersama-sama mengatasi masalah serta menciptakan suatu kewajiban untuk membuat segala sesuatunya menjadi lebih baik dengan melibatkan korban, anak, masyarakat dan pihak terkait untuk mencari solusi yang terbaik bagi anak tanpa ada unsur
pembalasan. Penyelesaian perkara anak yang berkonflik dengan hukum dengan menggunakan pendekatan keadilan restorative justice penyelesaian yang melibatkan semua pihak dan secara
bersama-sama mengatasi perkara dan mencari solusi yang terbaik terhadap perkara yang dihadapi anak dengan demikian perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum
yang lebih mengutamakan kepentingan terbaik bagi anak dan diselesaikan secara non pengadilan.Namun jika hal ini tidak mencapai kesepakatan dan tindak pidana tertentu, maka kasus akan dilanjutkan sampai ke meja hijau alias pengadilan.

Namun, hampir semua kasus bisa
diselesaikan dengan baik, dan anak – anak yang menjadi pelaku tindak pidana ini dikembalikan kepada orang tua mereka untuk mendapat pengawasan dan pembinaan.