• Berita
  • Tokoh Adat OKU Selatan Dukung Marga Dihidupkan Kembali

Tokoh Adat OKU Selatan Dukung Marga Dihidupkan Kembali

2 tahun ago
672


 

PALEMBANG,HALUANSUMATERA.COM-Tim Peneliti Pendekatan Model Politik Sosio-Cultural Marga dalam Mengatasi Masalah Pembangunan: Studi Pemekaran Wilayah di OKUS yang terdiri dari Dr. Meita Istianda (Ketua Tim/Universitas Terbuka Palembang), Dr. Dedi Irwanto (Universitas Sriwijaya), Giyanto, M.Si. (Universitas PGRI Palembang), Dr. (Cand.) Kms. A. Rachman Panji (UIN Raden Fatah Palembang), Dudi Oskandar (Jurnalis Sejarah dan Budaya Palembang) dan Hidayatul Fikri, S.Kom atau Mang Dayat (Youtuber beken dan keren kebanggaan Kota Palembang) terjun ke lapangan di OKU Selatan (OKUS). 

Tim Peneliti akan terjun sebanyak 2 tahap, di mana pada tahap 1 dalam menelusuri dan menggali kehidupan masa lampau marga dan kondisi masyarakat OKUS masa kini setelah pemekaran wilayah akan berdiam selama 5 hari di berbagai wilayah OKUS mulai Sabtu (27/5) sampai Selasa (30/5).


Tim berangkat menuju Muara Dua, OKUS pada hari ini Sabtu (28/5) dari Palembang sejak pukul 07.00. 


Tiba di Muara Dua pukul 15.00 langsung menemui tokoh adat OKUS, Drs. H.  Mahmud dari eks Marga Buay Sandang dan Herry M, S.Pd. dari Diknas OKU Selatan. 


Tokoh adat OKU Selatan Drs. H.  Mahmud yang ditemui dirumahnya, Sabtu (27/5) merupakan anak dari pasirah terakhir Marga Buay Sandang dan pensiunan PNS di Diknas OKU Selatan saat ini berusia 78 tahun. 


Walau berusia lanjut, beliau masih sangat sehat dan segar dengan pendengaran yang jelas dengan nada bicara yang tegas. Beliau menilai gerakan Gubernur Sumatera Selatan, H. Herman Deru, S.H., M.M. dan anggota DPRD Sumatera Selatan untuk mengembalikan pemerintah marga seperti masa lampau sangat tepat.


“Seingat saya pengembalian marga dalam pemerintahan di Sumatera Selatan ini merupakan salah satu janji kampanye Beliau. Syukurlah ternyata Beliau berusaha memenuhi janji jika berhasil mengembalikan marga ini,” katanya.


Dirinya sebagai salah satu anak mantan pasirah dan pernah merasakan hidup di masa marga. 


Merasakan bahwa kehidupan masa itu sangatlah tertib. Masyarakat kita di Sumatera Selatan, terutama juga di OKU Selatan ini sangat taat dan mematuhi semua peraturan yang ada. 


“Sehingga masyarakat sangat takut jika berbuat kesalahan. Karena hukuman, yang kebanyakan mengedepankan hukum adat, sanksi sosialnya sangat berat. Karena biasanya bukan saja si pelaku yang terkena dampak hukuman tersebut, bahkan sampai tujuh keturunannya akan terkena efek hukum sosial ini”, jelasnya sambil mengingat masa marga.
Dia sangat mengapresiasi jika marga ini dihidupkan kembali.


” Jadi pernah ada sebuah kejadian unik di OKU Selatan semasa zaman marga ini.Sebenarnya tiga marga yang ada di sekitar Muara Dua ini berasal dari keturunan yang sama. Mereka merupakan keturunan dari Kepuyangan Umpu Sibala Kuang yang memiliki empat orang anak. Yakni 3 putra Rawan, Rujung, Sandang dan 1 putri Siduyduy,” katanya.


Lalu Putri Siduyduy ini kawin dengan tokoh dari Bugis, Sulawesi Selatan. Sedangkan ketiga putranya hidup dan menyebar serta berketurunan di sekitar aliran hulu Sungai Komering.

 
“Kemudian keturunan ini membentuk tiga marga besar Jelma Daya yakni Buay Rawan, Buay Rujung dan Buay Sandang. Kenapa mereka disebut suku Jelma Daya karena mereka adalah orang yang memiliki daya, kuat, gagah serta ulet dan dinamis”, paparnya.


Namun ada persoalan dilematis di antara ketiga marga ini. Ketika ditemukan sebuah  sarang walet yang luar biasa di Tihu Saung (Gua) Naga yang terletak di antara ketiga marga tersebut. Sarang walet ini akan mendatangkan kekayaan luar biasa bagi siapapun pemiliknya. 
Namun bukannya berperang atau bertengkar. Ketiga pasirah marga-marga ini selanjutnya berembuk dalam suasana damai dan tenang. 


Kemudian menyepakati bahwa ketiga marga ini akan sama-sama mengelolah sarang walet dengan cara bergantian setiap tiga bulan sekali. Kesepakatan mufakat ini selanjutnya dibuat perjanjian tertulis dan disahkan didepan Kontrolir (Bupati) Komering Ulu waktu itu. 


“Hal ini supaya kesepakatan ini akan menjadi kekal sampai ke keturunan-keturunan mereka kelak. ini luar biasanya kearifan lokal yang tersimpan dalam khazanah kehidupan marga pada waktu itu. Kalau sekarang saya tidak bisa membayangkan jika peristiwa seperti ini terjadi pada masa sekarang. Bahkan saya sebagai putra langsung dari pasirah terakhir Marga Buay Sandang masih menyimpan surat perjanjian yang dibuat di tahun 1902 tersebut”, papar bapak empat orang anak yang semua sudah sukses sebagai abdi negara. 


Oleh karena itulah, dirinya sangat mendukung jika Gubernur Sumatera Selatan, H. Herman Deru dan DPRD Sumatera Selatan segera membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang marga dan mengimplementasikan kembali di kehidupan masa kini.


Sedangkan  salah satu pelaku budaya OKU Selatan lainnya Herry M., S.Pd. Beliau juga merindukan kembali kehidupan masa marga yang dinilai sangat tentram dan menyebabkan munculnya masyarakat sejahtera dan mandiri berciri khas Sumatera Selatan ini.


“Terus saya sedih kalau melihat fenomena masa kini dibanding masa lalu. Gara-gara dana desa dan berbagai bantuan desa, saat ini banyak kepala desa yang terlilit masalah hukum”, ungkapnya.


Dulu menurutnya di masa marga hal ini tidak pernah terjadi. Karena marga-marga di Sumatera Selatan, termasuk di OKU Selatan, memiliki dana raad marga sendiri dan dikelolah sesuai kebutuhan marga. Tidak ada bangunan yang disubsidi pemerintah. Kantor marga, balai marga, sosoh marga, pasar marga, lapangan sepakbola marga semua dibangun oleh dana marga sendiri. 


“Bahkan marga di masa kolonial setahu saya justru memberikan subsidi ke pemerintah dari dana kas marga yang cukup besar”, kata Herry.


Sama dengan H. Mahmud, dirinya  juga sangat mendukung jika pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Kabupaten OKU Selatan dapat mengembalikan lagi sistem pemerintahan marga di Sumatera Selatan. 


“Supaya kelak sistem adat, budaya, ekonomi dan politik yang bernuansa asli kita dapat terus dijaga”, katanya.