Jangankan Pohon Kelapa, Rumah Pangung Kami pun Habis

8 tahun ago
377

ddd ddd

ACEH, HALUAN SUMATERA – Suasana belajar-mengajar nan bersahaja di ruang sekolah SMP Merdeka, Tampor Paloh, Aceh Timur. Inilah sekolah menengah pertama yang pertama dibangun di Kecamatan Simpang Jernih.

“Di situlah dulunya kampung kami berada,” kata Hasbi seraya menunjuk sebuah delta sungai yang terhampar di seberang kami berdiri. Kami memandanginya beberapa saat. Hanya tampak kayu dan kerikil-kerikil yang terhanyut derasnya arus sungai. “Jangankan pohon kelapa, rumah-rumah panggung kami pun habis tak tersisa dihantam banjir.”

Hasbi merupakan seorang imam kampung, sebuah jabatan turun-temurun dari moyangnya. Sehari-hari dia bekerja menjala ikan. Kadang, kala sungai tak bersahabat, dia memilih untuk merenda jaring di rumah kayunya yang luasnya tak lebih dari lapangan bulu tangkis.

Tampurpaloh, sebuah gugusan desa titisan suku Gayo di Aceh Timur, berada di tepian pertemuan arus hulu Sungai Tamiang dan hulu Sungai Tampurbor. Namun, petaka banjir yang melibas pada akhir 2006, telah menghanyutkan permukiman dan segala harapan Hasbi dan warganya. Sebuah bencana yang kedatangannya tak pernah diramalkan oleh para leluhur mereka yang menghuni tepian sungai ini sejak berabad silam. Saat itu banyak desa yang terdampak banjir karena meluapnya Sungai Tamiang, namun Tampurpaloh telah ditakdirkan menjadi desa yang terparah. “Orang-orang mengungsi ke bukit,” ujar Hasbi. “Syukurlah tak ada korban jiwa, semua selamat.”

Batil, demikian orang Gayo menyebut tempat pinang sirih. Inilah satu-satunya pusaka Desa Tampor Paloh yang selamat dari terjangan petaka air besar pada Desember 2006. Perkampungan dan seisinya terkelupas dan hanyut tak tersisa.

Kini, mereka menghuni tanah baru di pinggang bukit, seberang permukiman lama yang berselendang halimun. Bencana banjir telah berlalu hampir sepuluh tahun, namun Hasbi dan warganya tak seberuntung desa-desa lainnya dalam Kecamatan Simpangjernih.

Dari delapan desa di kecamatan tadi, hanya Tampurpaloh yang tidak memiliki sumber air bersih. Dari seratusan rumah di desa itu, tak lebih dari dua lusin rumah yang memiliki jamban. Satu-satunya desa yang masih menggunakan listrik dari mesin diesel yang haus solar. Tampurpaloh juga solah tak tersentuh peradaban informasi karena sinyal selular pun tak sampai ke desa ini.

Tanah baru tampaknya sedikit demi sedikit telah menjanjikan harapan baru pula. Sebuah sekolah berdinding kayu dan berlantai tanah dibangun atas dasar kebutuhan warga. Bersama sukarelawan yang merintis upaya pendidikan, kini mereka memiliki sekolah menengah pertama yang menjadi bangunan sekolah kedua setelah Sekolah Dasar Negeri Tampurpaloh.

“Kami melewati Kota Langsa dan Kualasimpang yang penuh perayaan,” ujar Ali mengenang. “Namun, ketika sampai Tampurpaloh, suasana hening seolah belum merdeka.”

“SMP Merdeka” demikian nama sekolah lanjutan di Tampurpaloh yang menyala-nyala karena swadaya warga.  Ali Muda Tinendung, pendidik dan ketua Yayasan Anak Merdeka, merupakan salah satu sukarelawan yang merintis pendirian sekolah tersebut. Ali dan para sukarelawan lainnya berangkat mengarungi Sungai Tamiang dan datang untuk kali pertama ke desa ini jelang perayaan Hari Kemerdekaan pada Agustus 2007. “Bahwa di sini kita butuh perjuangan!”

“Kami melewati Kota Langsa dan Kualasimpang yang penuh perayaan,” ujar Ali mengenang. “Namun, ketika sampai Tampurpaloh, suasana hening seolah belum merdeka.” Ketika dia datang, desa ini memiliki angka buta huruf yang tinggi. Ali kembali mengingat, saat itu Tampurpaloh belum merdeka dari kebodohan dan ketertinggalan, termasuk soal fasilitas umum dan perhatian pemerintah. Desa ini, ungkapnya, juga tidak merdeka untuk menentukan pilihan hidup. “Itulah, kita pikir cikal bakal kenapa sekolah ini bernama SMP Merdeka,” ujarnya. “Inilah SMP pertama di Kecamatan Simpangjernih.”

Para siswi menari Bines di halaman SMP Merdeka, Tampor Paloh. Sejak berdirinya sekolah ini, gadis-gadis Tampor Paloh menunda pernikahan di usia belia mereka.

Ali menuturkan bahwa anak-anak yang ingin bersekolah di sini tidak dipungut biaya. Syarat pendaftarannya: Setiap orang tua siswa diwajibkan menyumbang dua kayu untuk papan dan tiang sekolah. “Sekolah ini milik masyarakat,” ujarnya. “Masyarakat milik sekolah.

Warga umumnya bekerja sebagai pencari kayu di hutan, berladang, pencari ikan, dan pencari burung murai daun. Semuanya dilakukan dalam skala kecil bahkan nyaris subsisten—habis untuk kebutuhan sendiri. Mereka menjualnya ke Kualasimpang, sebuah kota harapan warga Tampurpaloh di tepian hilir Tamiang yang berjarak sekitar lima jam perjalanan dengan perahu bot. Kendati mereka hidup di alam nan permai, segala kebutuhan ikan asin, sayur-mayur, hingga telur pun diperoleh dari kota. Tampurpaloh adalah sebuah fenomena.

Para siswa SMP Merdeka yang berpakaian adat khas Gayo, berjalan pulang usai menari Saman di halaman sekolah mereka di Tampur Paloh, Aceh Timur pada pertengahan Juni silam. (Tim Pariwara)

Sejak berdirinya SMP Merdeka, banyak anak-anak yang melanjutkan belajarnya. Apabila sebelum banjir besar umumnya mereka hanya lulusan sekolah dasar, kini terbuka kesempatan untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Setelah lulus dari SMP Merdeka, sebagian anak-anak Tampurpaloh melanjutkan SMA ke Kota Langsa. Kini, kota tujuan baru mereka adalah Langsa, bukan lagi Kualasimpang. Sedikitnya, sembilan anak lulusan SMP Merdeka telah berhasil duduk di bangku kuliah di Langsa. Terbukanya kesempatan belajar di jenjang SMP telah mengurangi angka pernikahan dini—meski pertunangan usia muda masih tak terhindarkan.

Selain program fasilitas pendukung pendidikan, Pertamina EP Rantau Field juga merintis “Tree Energy” untuk kebutuhan listrik bagi sekolah. Sumber listrik dengan perantara pohon kedondong ini digagas oleh Naufal Raziq, pelajar Madrasah Tsanawiyah Negeri, Langsa Lama, Kota Langsa.

“Kalau tidak sekolah, saat tua menyesal,” kata Srimah malu-malu. Gadis itu kini siswi Kelas III di SMP Merdeka. Usianya 17 tahun, namun sudah dipinang. Dalam tradisi Tampurpaloh, anak gadis yang belum menikah pada usia 15 tahun dianggap aib. Calon suaminya berusia 20-an, lulusan sekolah dasar, dan bekerja sebagai pembalak kayu alim atau cendana. Srimah menuturkan, kendati calon suami ingin menikahinya seusai lulus SMP, dia meminta untuk menundanya supaya bisa duduk di bangku SMA. Srimah berharap dapat melanjutkan SMA di Tampurpaloh, tak perlu jauh ke Langsa yang banyak memakan biaya. “Saya ingin menjadi guru di sini,” katanya sembari tersipu, “ingin berbagi ilmu.”

 

Sampai hari ini masih sedikit lembaga yang terlibat dalam masa depan pendidikan anak-anak Tampurpaloh. Pertamina EP Asset-1 Rantau Field yang berbasis di Aceh Tamiang berinisiatif turut mendukung kegiatan “Siekula Aneuk Nanggroe” di SMP Merdeka. Dukungan itu lewat bantuan buku-buku, membangun fisik dengan konsep sekolah alam berupa perpustakaan dua lantai, dan tiga buah ruang kegiatan belajar, sarana mandi-cuci-kakus. Rencananya, bangunan berarsitektur balai-balai itu akan digunakan untuk siswa yang melanjutkan ke tingkat SMA.

“Jadi bentuknya tak seperti sekolah yang tertutup, melainkan menggunakan konsep terbuka dengan alam supaya anak-anak lebih bersahabat dan lebih dekat dengan alam,” ujar Dedi Zikrian, yang mewakili Pertamina EP Asset-1 Rantau Field. “Kita juga ada program Pertamina Mengajar, lewat kegiatan belajar mengajar bagi adik-adik didik Siekula Aneuk Nanggroe di SMP Merdeka. Kita juga punya program Pertamina Menginspirasi. Pekerja-pekerja Pertamina diberikan kesempatan untuk memberikan inspirasi kepada adik-adik.” (INT)